Jajanan Jadul Jadi Kurasi Museum Kuliner Nusantara

Jajanan Jadul Jadi Kurasi Museum Kuliner Nusantara

serbaserbidunia – Indonesia, negeri kaya budaya dan sejarah, tak hanya dikenal lewat seni, bahasa, dan pakaian adatnya, tetapi juga dari satu unsur paling menggoda kuliner. Dari sabang hingga merauke, berbagai jajanan tradisional telah lahir, berkembang, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa. Namun, di tengah gempuran tren makanan kekinian, jajanan jadul atau makanan ringan khas tempo dulu mulai tersingkir dari meja makan masyarakat urban.

Kini, gerakan kurasi kuliner lewat pendirian Museum Kuliner Nusantara hadir sebagai solusi untuk merawat, mengenang, dan mengenalkan kembali kekayaan rasa yang nyaris punah ini.

Mengenang Masa Lalu Lewat Rasa

Jajanan jadul bukan sekadar makanan ia adalah nostalgia yang dibalut dalam gula, tepung, santan, dan kelapa. Bagi banyak orang yang tumbuh di era 70-an hingga 90-an, nama-nama seperti kue cucur, geplak, clorot, gulali, atau sagon bukan hanya memori lidah, tapi juga bagian dari momen kebersamaan dengan keluarga. Dulu, jajanan ini dijajakan oleh pedagang keliling, dijual di pasar tradisional, atau disajikan saat hajatan desa.

Namun, seiring waktu, banyak dari makanan-makanan tersebut perlahan menghilang dari keseharian. Generasi muda yang tumbuh di tengah tren bubble tea, croffle, dan street food ala Korea cenderung tidak lagi mengenali apalagi mengonsumsi jajanan lokal. Ini bukan hanya kehilangan rasa, tapi juga potensi kehilangan sejarah, identitas, dan warisan kuliner bangsa.

Museum Kuliner Nusantara: Lebih dari Sekadar Tempat Pameran

Melihat fenomena ini, sejumlah budayawan, ahli gastronomi, dan pemerhati sejarah kuliner menginisiasi pendirian Museum Kuliner Nusantara. Namun museum ini tidak seperti museum pada umumnya. Ia tidak hanya menampilkan replika makanan dalam etalase, tapi juga menawarkan pengalaman multisensori—pengunjung bisa mencium aroma, mencicipi rasa, melihat proses pembuatan, hingga mendengar kisah di balik masing-masing makanan.

Setiap sajian tradisional dihadirkan lengkap dengan narasi sejarah, konteks budaya, serta nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Misalnya, kue apem yang dulunya disajikan saat upacara selametan sebagai simbol permohonan maaf, atau dodol Betawi yang menjadi simbol kesabaran karena proses memasaknya yang panjang dan melelahkan.

Jajanan Jadul dalam Sorotan Kurator

Proses kurasi tidak dilakukan secara sembarangan. Tim kurator biasanya melakukan riset mendalam ke daerah-daerah, menggali informasi langsung dari para pembuat asli atau sesepuh desa, dan mencatat dengan seksama resep, teknik memasak, dan cerita-cerita lokal yang menyertainya. Jajanan jadul seperti kue rangi, tape uli, kembang goyang, hingga getuk lindri menjadi fokus utama.

Kurasi ini memiliki nilai penting karena bukan hanya soal menyajikan makanan, tetapi juga merekam jejak sejarah kuliner Indonesia yang sangat kaya. Tak sedikit jajanan yang telah hampir punah karena tidak lagi dibuat oleh generasi sekarang, entah karena bahan baku yang sulit didapat, proses yang rumit, atau karena sudah tak dikenal lagi di pasaran.

Edukasi Melalui Pameran Interaktif

Untuk menjangkau generasi muda, Museum Kuliner Nusantara memanfaatkan teknologi interaktif seperti augmented reality dan pemutaran video dokumenter. Anak-anak sekolah bisa melihat langsung bagaimana kue putu dibuat dengan cara dikukus dalam cetakan bambu, lengkap dengan suara khas siulan uapnya yang dulu jadi pertanda kedatangan penjualnya.

Sesi demo masak juga sering dilakukan, di mana pengunjung diajak mencoba membuat sendiri jajanan jadul di dapur tradisional. Aktivitas ini bukan hanya menyenangkan tapi juga edukatif, memberi kesempatan bagi publik untuk memahami bahwa membuat makanan adalah bagian dari budaya, kesabaran, dan kearifan lokal.

Ragam Jajanan Jadul yang Jadi Bintang

Di antara ratusan jenis jajanan tradisional, beberapa makanan memiliki daya tarik yang kuat karena tampilan warna-warni dan cerita unik di baliknya. Misalnya:

  • Kue lapis legit, yang ternyata merupakan pengaruh dari Belanda dan membutuhkan ketelitian tinggi dalam pembuatannya.

  • Kue ku atau ang ku kue, makanan keturunan Tionghoa yang sering hadir di momen perayaan ulang tahun.

  • Serabi Solo, yang masih dimasak dengan tungku arang dan memiliki cita rasa gurih manis yang menggoda.

Ada pula jajanan khas daerah yang sangat spesifik seperti:

  • Gathot dan tiwul dari Gunung Kidul, simbol makanan rakyat ketika masa paceklik.

  • Lempeng sagu dari Papua, pengganti nasi bagi masyarakat timur Indonesia.

  • Cenil dan klepon, dua makanan berbasis tepung ketan yang mewakili kekayaan tekstur dan warna.

Makanan sebagai Medium Identitas Budaya

Jajanan tradisional tak hanya menggugah selera, tetapi juga menjadi medium penting dalam mengukuhkan identitas budaya. Tiap suku dan daerah di Indonesia punya kekhasan rasa, bentuk, hingga filosofi makanan. Lewat jajanan jadul, kita bisa melihat bagaimana suatu masyarakat hidup, berpikir, dan berinteraksi. Misalnya, dalam budaya Jawa, banyak makanan yang dikaitkan dengan doa dan harapan, seperti jenang abang putih yang melambangkan keseimbangan hidup.

Ketika makanan-makanan ini dikurasi dan ditampilkan di museum, publik diajak untuk tidak hanya menikmati rasa, tapi juga memahami makna. Inilah esensi dari museum kuliner—menjadikan rasa sebagai pintu masuk untuk menyelami sejarah dan identitas.

Peran Generasi Muda dalam Melestarikan Rasa

Walau museum telah mengambil peran besar dalam menyuarakan pentingnya melestarikan jajanan tradisional, upaya ini tak akan maksimal tanpa dukungan dari generasi muda. Pelestarian tak hanya soal mengenang, tapi juga melakukan. Maka, kini muncul berbagai komunitas kuliner yang mulai menghidupkan kembali jajanan jadul lewat pendekatan kreatif—mengemasnya secara modern, memperkenalkan lewat media sosial, bahkan menjualnya secara online dengan narasi yang kuat.

Beberapa UMKM kuliner pun mulai meracik ulang jajanan jadul menjadi oleh-oleh kekinian. Contohnya, kue geplak yang kini hadir dalam kemasan modern dan rasa inovatif seperti cokelat atau green tea, atau lemper isi smoked beef yang menyasar selera milenial.

Festival Jajanan Jadul, Langkah Lanjut dari Museum

Tidak hanya berhenti di museum, gerakan pelestarian ini kemudian berkembang dalam bentuk festival kuliner jajanan jadul yang diselenggarakan di berbagai kota. Festival ini menjadi ajang berkumpulnya para pengrajin kuliner tradisional, tempat edukasi budaya, sekaligus wisata rasa yang luar biasa. Pengunjung bisa merasakan kembali jajanan masa kecil sembari mendengar musik keroncong, menonton pertunjukan wayang, atau mengikuti workshop membuat kue basah.

Festival seperti ini menjadikan jajanan jadul bukan hanya barang nostalgia, tapi juga potensi ekonomi kreatif yang bisa dikembangkan secara berkelanjutan.

Tantangan dan Harapan di Masa Depan

Meski sudah ada langkah besar lewat museum dan festival, perjalanan pelestarian kuliner masih panjang. Tantangan terbesar datang dari arus modernisasi yang kian masif dan cepat. Anak muda lebih akrab dengan tren makanan luar negeri, sementara pengetahuan mereka tentang makanan lokal masih minim. Ditambah lagi, regenerasi pembuat jajanan jadul pun minim banyak yang enggan mewarisi keahlian karena dianggap kurang menguntungkan secara ekonomi.

Oleh karena itu, penting untuk menjadikan pelestarian kuliner ini sebagai bagian dari kebijakan budaya dan pendidikan nasional. Pemerintah dan institusi pendidikan bisa memasukkan materi kuliner lokal dalam kurikulum sekolah, mendorong lomba masak tradisional antar pelajar, hingga memberikan insentif kepada pelaku UMKM makanan tradisional.

Museum Kuliner Bukan Akhir, Tapi Awal Perjalanan

Pendirian Museum Kuliner Nusantara adalah langkah strategis untuk menyelamatkan rasa, memori, dan warisan bangsa. Tapi ia bukanlah garis akhir, melainkan titik tolak untuk gerakan yang lebih besar—menjadikan kuliner tradisional kembali hidup, dinamis, dan relevan. Jajanan jadul bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk terus dibuat, dinikmati, dan dibanggakan.

Di balik sepotong cenil, secuil kue talam, atau gigitan sagon, tersimpan kisah ribuan tahun tentang keluarga, kebersamaan, perjuangan, dan cinta pada tanah air. Menjaga jajanan jadul adalah menjaga jati diri kita sebagai bangsa. Mari kita lanjutkan perjalanan ini, satu gigitan kenangan pada satu waktu.

Related posts